Menurut kamu tentang cerpen Nue

Rabu, 02 Desember 2009

Aku Bukan Siapa-siapa!!!

Cinta?

Entah kenapa, mendengar kata itu rasanya aku jadi ingin menangis saja. Terlalu suram hidupku selama ini, dan itu semua tak lain disebabkan cinta. Bayangkan saja, betapa merananya aku ketika gagal dalam kisah cinta, sialnya semua itu justru terjadi berulang hingga tiga kali. Bagaimana mungkin aku tidak frustasi? Bagaimana mungkin aku tidak menangis? Aku yang selalu menyalahkan takdir yang telah membuatku begitu bencinya terhadap laki-laki. Ya, sejak kemalangan beruntun yang menimpaku, tak pernah ada lagi pria yang berani mengetuk pintu hati ini. Aku memilih berkata ‘Tidak’, ketika beberapa lelaki menyatakan rasa sukanya padaku. Aku terlanjur sakit hati dengan makhluk yang namanya laki-laki.

Orang pertama yang berani mencuri hatiku itu bernama Andra, mahasiswa semester 2 jurusan biologi di sebuah universitas di kotaku. Awal perkenalan kami ketika dia, entah sengaja atau tidak mengirim sebuah pesan singkat elektronik atau sering disebut SMS ke nomor HP-ku. Isinya berupa permintaan agar aku segera mengembalikan buku miliknya. Tentu saja aku heran, bahkan kenal pun tidak. Lalu anehnya, kenapa dia merasa begitu akrabnya denganku dengan meminta agar aku mengembalikan bukunya?

Tanpa berpikir panjang lagi aku pun membalas SMS-nya, menjelaskan bahwa ia salah mengirim pesan, alias salah sambung. Aku tak mengenalinya, dan sama sekali tidak pernah merasa meminjam bukunya. Ia minta maaf atas keteledorannya itu, dan aku bisa maklum. Semua orang bisa salah kan?

Selanjutnya ia pun berani memperkenalkan dirinya padaku, dan sebaliknya aku pun begitu. Namanya Andra, dan entah kenapa, nama itu mulai mengisi lembar memory hari-hariku. Selama dua minggu kami berkenalan, mencoba mencari tahu tentang pribadi masing-masing. Meski demikian, kami sama sekali tak pernah bertemu muka. Hingga pada suatu malam, ketika aku mempunyai waktu luang, kuberanikan diri untuk mengajaknya untuk makan malam di rumahku. Ia setuju, karena kebetulan ia sendiri tidak sedang dalam keadaan sibuk. Aku memberikan alamat rumahku padanya, hingga dengan mudah Andra datang ke rumah tepat pada waktu yang dijanjikan, pukul tujuh tiga puluh.

Aku begitu terkesan ketika pertama kali melihatnya, Andra adalah sosok pemuda yang pertama kalinya mengajariku akan arti cinta. Wajahnya tampan, meski dapat terlihat jelas bekas luka gores di keningnya, tapi aku tak peduli dengan penyebab dari luka itu. Yang pasti, aku ingin menghabiskan malamku ini dengannya, berdua.

Kubuatkan nasi goreng spesial khusus menyambut kedatangannya. Dan tampaknya Andra menyukainya. Ia memuji kelezatan masakanku, dan bodohnya aku, hanya karena pujian konyol itu, aku serasa melambung tinggi ke angkasa. Betapa senangnya aku waktu itu. Dan sejak malam pertama pertemuan kami itu, aku mulai menjatuhkan harapanku padanya. Aku suka Andra, dan aku berharap ia juga menyukaiku.

Namun lain yang kuharap, lain pula yang kurasakan. Sejak saat itu Andra semakin jarang menghubungiku, tentu saja aku kecewa. Sayangnya, aku tak bisa berbuat apa-apa, kemungkinan untuk menghubunginya terlebih dahulu sangat mustahil bagiku. Aku perempuan, betapa memalukannya jika aku terlalu agresif terhadap laki-laki yang bukan siapa-siapaku. Tiga minggu berlalu, Andra hanya dua kali menghubungiku. Hingga akhirnya aku menarik suatu kesimpulan, Andra tidak suka padaku.

Aku menyerah. Meski sakit hati, meski kecewa, dan sedih yang begitu mendalam, aku tak bisa menuntut ia untuk selalu menghubungiku. Andra bukan siapa-siapaku. Hingga akhirnya kami benar-benar lost contack, nggak pernah berhubungan lagi.

Aku mulai belajar melupakannya dan membuka pintu hatiku dengan orang lain. Kualihkan perhatianku pada Heru, kenalanku sejak SMA kelas tiga. Namun Heru juga bukan siapa-siapaku, aku mengenalinya setelah Dion temanku dan juga temannya memperkenalkan kami berdua, sialnya saat itu Heru berada di Cirebon, melanjutkan kuliahnya yang sekarang ini sudah semester 6 dengan mengambil jurusan teknik. Dan karena berbedaan tempat yang begitu jauh, hingga tak memungkinkan kami untuk bertemu. Heru adalah sosok pria yang begitu baik dimataku, karena ia selalu memberi masukan-masukan ‘berkualitas’ untukku. Saat aku sedang bersedih, Heru selalu memberiku support, dan aku menghargai usahanya itu.

Di saat aku sedang menikmati pertemanan kami di dunia maya, tiba-tiba saja terkuak kembali masa laluku. Setelah sebulan tak memberi kabar, memoriku bersama Andra yang selama ini kukubur dalam-dalam kembali terbuka lebar. Entah angin apa yang membawanya untuk menghubungi aku, dan bodohnya aku, mau saja menerima alasan konyolnya yang mengatakan bahwa akhir-akhir ini sedang sibuk dengan ujiannya. Meski semua orang tahu, Ujian Akhir Semester tidak berlangsung selama sebulan penuh.

Senang. Itulah yang kurasakan. Meski sempat kecewa, setidaknya Andra masih mengingatku. Setelah seminggu berhubungan kembali, Andra mengajakku untuk ketemuan, dan tentu saja aku mengiyakan.

Pukul tujuh lewat tiga puluh menit, Andra menjemputku di kampus, tempat kuliahku. Kami mulai mengukur jalan, saat kutanya hendak kemana Andra tidak menjawab, senyum manis dibibirnya membuatku sedikit merinding, apa yang sedang dipikirkannya?

Sepuluh menit perjalanan membawa kami ke sebuah caffe yang letaknya jauh dari keramaian kota. Aku lega karena akhirnya tujuan kami tidak seperti apa yang aku bayangkan sebelumnya. Caffe itu berdiri dengan begitu megahnya, aku takjub, itu pertama kalinya seorang pria membawaku ke tempat romantis, cahaya temaram mengantarkan kami menuju salah satu meja berhiaskan lilin merah yang sedang menyala dengan indahnya. Kami mulai obrolan kami dengan ucapan basa-basi kecil, saat itu aku sangat berharap Andra menyatakan rasa sukanya padaku. Namun, dua jam berlalu, kata-kata itu tak juga mengalir dari bibirnya. Apa yang ada dibenak pemuda ini? Entahlah, aku tak pernah tahu. Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi salahkan jika nalarku mengatakan bahwa Andra suka padaku? Dulu, Andra tak pernah absent untuk menghubungiku tiap harinya, hingga saat setelah pertemuan pertama kami, ia mulai menjaga jarak. Saat itu aku sadar, ternyata hubungan kami tak lebih dari sekedar teman. Hingga akhirnya, seminggu yang lalu ia kembali menghubungiku, kami mulai akrab kembali. Dan malam itu, Andra membawaku ke tempat yang begitu spesial di mataku. Sebuah caffe yang dibangun khusus untuk orang yang sedang kasmaran, begitu romantisnya membuatku merasa begitu berharga di matanya. Namun dugaanku salah, Aku bukanlah siapa-siapa.

Aku mengutuk, kenapa tidak membawaku ke warteg saja? Kalau sekedar untuk makan malam dan mengisi kekosongan perut, untuk apa mesti jauh-jauh pergi ke sana? Jauh dari keramaian dan hangar-bingar kota.

Dan kejadian itu terulang lagi. Andra menghilang dari mimpi indahku. Kembali seperti dulu lagi, tak pernah memberiku kabar, menjauh dari kehidupanku. Andra sialan.

Kali ini aku benar-benar kehilangan kontak darinya, Andra seolah menghilang di telan bumi, dan aku berharap setelah ini ia tak muncul lagi. Tuhan mengabulkan doaku, kabar duka terdengar di telingaku. Andra meninggal. Tapi aku tidak akan menangis, karena kematian Andra tak lain di sebabkan kesalahannya sendiri. Mati di tangan kedua kekasihnya.

Tidak perlu munafik, saat itu aku juga sedih. Andra kini telah tiada, dan ia benar-benar menghilang di telan bumi, seperti yang aku harapkan.

Duka itu ku bagi bersama Heru. Ia faham tentang perasaanku saat itu, menghiburku dengan berbagai guyonan yang meskipun terdengar garing, tapi aku menghargai usahanya itu. Hingga akhirnya aku benar-benar melupakan Andra yang dulu pernah mengisi hari-hariku, dan kini harapan itu berbalik pada Heru. Bodoh bukan? Padahal aku sama sekali tak pernah bertemu dengannya, meski aku tahu persis bagaimana wajahnya tapi foto yang ia kirimkan padaku itu tak dapat bicara, tak dapat menemaniku bercanda. Bukan ketampanan wajahnya yang menarik perhatianku, melainkan kebaikan yang telah diberikannya selama ini padaku. Bagiku Heru adalah segalanya.

Hingga suatu hari, Heru pulang ke kotaku. Ke kotanya juga. tempat dimana ia dibesarkan, tempat dimana orang tua dan hampir sebagian keluarganya menetap.

Senang. Itulah yang kurasakan. Bagaimana tidak, setahun enam bulan saling kenal, tapi tak pernah bertemu muka. Saat itu bulan ramadhan, Heru pulang dalam rangka menyambut bulan suci itu bersama keluarganya, ia sedang libur panjang. Dan itu artinya, aku bisa sering-sering bertemu dengannya. Ternyata itu hanya dugaanku saja, selama sebulan di kota ini kami baru dua kali bertemu. Sama halnya seperti apa yang dilakukan Andra padaku, ketika aku menjatuhkan harapanku pada Heru, justru ia menampik harapanku itu. Pertemuan pertamaku dengannya memang biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Meski aku akui, ketampanan Heru mempunyai level lebih tinggi berbanding Andra, dan aku suka senyum manisnya itu. Ada satu hal dari Heru yang membuatku teringat kembali pada Andra, yaitu bekas luka di dekat matanya, entah itu dikarenakan apa, aku tidak peduli. Selama hampir sebulan di sini Heru sama sekali tak pernah memberi kabar padaku, dan aku sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan laki-laki yang selalu semaunya itu. Angin-anginan dan tidak jelas juntrungannya. Tetapi itu kata itu hanya mengalir dari bibirku, karena pada kenyataannya aku selalu merindukan Heru, aku selalu menginginkan agar dia menghubungiku, memberi tahu kabarnya padaku. Sebulan lebih berlalu, Heru akhirnya mengirim sebuah pesan singkat yang membuatku berbunga-bunga, dia mengajakku jalan-jalan. Saat itu, entah disengaja atau tidak pertemuan kami sempat mengalami kendala. Sepertinya Heru ingin sekali membatalkan pertemuan kami. Entahlah, mungkin itu hanya perkiraanku saja. Yang jelas, hari itu kami menghabiskan waktu kami berdua, mengelilingi kota, mengunjungi tempat wisata, juga bertemu keluarganya. Dan pada hari itu, apa yang kuinginkan pun terjadi. Heru menyatakan cintanya padaku. Jujur, aku sangat senang sekali dengan pengakuan cintanya itu, hanya saja aku tidak yakin. Aku takut kalau Heru hanya bercanda, meskipun pada saat itu ia mengatakannya dengan mimik yang sangat serius. Dan ketika ia meminta jawabanku, aku justru memintanya untuk menunggu. Aku tidak ingin ceroboh, jika aku diciptakan mempunyai otak, maka aku harus mempergunakan otakku itu untuk berpikir, agar nantinya aku tidak menyesal.

Malam harinya Heru SMS, mempertanyakan pertimbanganku atas penawaran cintanya. Saat itu aku masih bingung, aku memang menyukai Heru tapi dia terlalu jauh. Kadatangannya kesini hanya sementara saja, karena saat masa liburnya habis, Heru akan kembali ke Cirebon, kembali kuliah. Pertanyaannya, apakah aku sanggup jika kami pacaran jarak jauh? Apa nantinya aku tidak kecewa jika tiba-tiba tahu kalau ternyata Heru punya pacar lain disana? Tentu saja aku tidak sanggup. Disaat aku sedang kebingungan memikirkan jawaban itu SMS kedua datang dari Heru, menyatakan bahwa besoknya ia akan berangkat, pulang kembali ke Cirebon. Aku tidak bisa terima. Rasanya begitu cepat, padahal aku baru saja menikmati indahnya hari-hariku bersama Heru dan aku belum puas, selama dua bulan disini kami baru dua kali bertemu.

Akhirnya Heru berangkat dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Keinginan untuk mencegah kepergiannya adalah hal yang sangat mustahil, inilah resiko mencintai orang yang nun jauh disana. Dan apa yang kutakutkan pun terjadi, setelah kepergian Heru dan sesampainya di Cirebon, ia tak pernah menghubungiku lagi, menghilang seperti saat kebersamaanku dengan Andra dulu. Dalam hal ini, tentu saja aku menyalahkan Heru. Bagaimana tidak, seandainya saja ia tak memberiku harapan, tidak membawaku ikut terbang bersamanya ke angkasa, tidak menyatakan suka padaku, andai saja ia bersikap biasa-biasa saja, menganggap aku sebagai seorang teman, membiarkan aku menikmati kebersamaan kami sebagai sahabat yang terjalin tanpa adanya unsur cinta dan saling suka, andai saja aku tidak bertemu Heru… mungkin aku tidak akan menyalahkan keegoisannya itu. Entahlah, mungkin aku saja yang perasa, terlalu ge-er dengan kata-katanya. Mungkin saja dia hanya bercanda, sebuah lelucon yang kupikir adalah keseriusannya berbicara masalah cinta.

Disaat sedang berduka, seorang sahabat memperkenalkan temannya padaku, Igo namanya. Sebelum pertemuan, kami sempat saling SMS-an, saling mempertanyakan mengenai pribadi masing-masing. Aku masih ingat ketika Igo mengajukan suatu permintaan yang terdengar begitu mengesankan, “Boleh nggak aku panggil kamu ade’ aja?”

Aku senang, dengan begitu aku punya kakak laki-laki. Jadilah kami seperti adik kakak. Itu hanya anggapan pertamaku. Pertama kali bertemu Igo memang menunjukkan sikap baiknya sebagai seorang kakak kepada adiknya, dan aku menikmati peranku sebagai seorang adik dari orang yang bernama Igo. Juga dipertemuan ketiga dan ke empat. Entahlah, mungkin itu perasaanku saja, karena sejak lahir aku memang tidak punya kakak laki-laki, jadi aku merasa perlakuan manjanya itu menunjukkan bahwa ia sayang padaku, sebagai seorang kakak. Ia memberiku masukan-masukan tentang berarti yang membuat ku bangkit kembali. Aku mulai sadar, cinta bukanlah segalanya, tanpa cinta aku akan tetap hidup. Namun aku takkan pernah menyesali rasa sukaku pada Heru, justru kenangan itu akan selalu kubawa dalam setiap mimpiku, membiarkannya menemani hari-hari baruku. Kini aku punya seorang kakak laki-laki yang menyayangiku, yang akan selalu menjagaku. Namun dugaanku meleset, kutarik kesimpulan dipertemuan selanjutnya, yang akhirnya kutahu, penilaianku salah terhadap Igo. Tidak, Igo itu bukan kakakku, dia bukan siapa-siapaku. Seperti halnya Andra dan Heru, mereka semua bukan siapa-siapaku. Kami tidak punya hubungan apa-apa. Dia, Igo hanya seorang laki-laki dewasa yang tidak ada hubungan darah denganku, yang kemudian memproklamirkan diri sebagai kakak laki-lakiku. Hal yang tak akan pernah hilang dari ingatanku meskipun aku berusaha untuk menghapusnya. Aku tak bisa menerima perlakuannya itu. Tidak…tidak…tidak… aku tidak mau mengingatnya.

Drop. Frustasi.

Aku tak ingin jatuh cinta lagi.

Aku tak ingin bersama laki-laki.

Aku terlalu benci.

Dan biarkan Tuhan menjadi saksi

Atas semua yang kualami.

Aku bodoh, terlalu perasa. Padahal mereka semua tidak pernah menganggap apa yang mereka katakan adalah suatu keseriusan. Hanya aku saja yang tidak tahu, dan sama sekali tidak pernah belajar dari pengalaman, hingga akhirnya duka itu selalu terulang, sebanyak tiga kali. Dan aku takkan pernah tahu, apakah kejadian itu akan berulang lagi.

Bulan Januari 2008, aku menerima sebuah email, dikirimkan Heru untukku. Saat itu aku sendiri bingung dengan perasaanku.

Senang? Tidak.

Sedih? Juga tidak.

Aku hanya kecewa, kenapa dia masih mengingatku disaat aku sedang membenci laki-laki? Kenapa dia masih berani menghubungi aku padahal selama ini tak ada kabar untukku?

Dan lebih mengecewakan lagi ketika aku membaca isi dari email tersebut.

“Sayang, kirimkan aku nomor kamu ya!”

+++ End +++

Tidak ada komentar:

Posting Komentar