Menurut kamu tentang cerpen Nue

Minggu, 13 Desember 2009

Oh mama, oh papa

Kota Tarakan terang oleh sinar bulan purnama. Semilir angin berhembus menyejukkan jiwa. Orang-orang di sekitar tampak senang dengan cuaca hari ini. Karena tak seperti biasanya, di musim penghujan di bulan desember kali ini sama sekali tak menampakkan tanda-tanda akan turunnya hujan. Jalan raya terlihat ramai di sabtu malam, malam yang panjang...

Di serambi mesjid Agung, tampak kerumunan massa yang membentuk lingkaran besar, mengelilingi sesuatu yang begitu mengundang minat orang lain untuk turut serta menyaksikan apa yang sebenarnya sedang terjadi...

***

Untuk Mama dan Papa tersayang,

Sebenarnya aku sama sekali tidak punya kepandaian dalam menulis surat maupun bicara serius kepada mama dan papa, bahkan sampai saat ini pun aku tidak percaya bahwa aku bisa menyatakan perasaanku pada kalian melalui surat yang kutulis dengan segenap perasaanku. Meski setelah kuungkapkan semuanya, mungkin justru aku sudah tak ada lagi bersama kalian.

Kutulis surat ini kepada mama dan papa dengan harapan semoga kalian mempertimbangkan sikap tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik sebelum aku tiba di dunia ini.

Aku ini anak satu-satunya yang kalian punya. Itu yang kalian katakan padaku sejak aku kecil hingga aku dewasa seperti sekarang ini. Namun entah kenapa aku tak pernah menikmati peranku itu sejak aku lahir di dunia, bahkan hingga masalah paling tersulit di rumah kita muncul satu-persatu.

Sebenarnya surat ini kuperuntukkan buat mama, karena mama adalah orang yang paling aku sayangi, pun jika berbanding dengan papa, mama masih orang nomor satu bagi aku.

Aku masih ingat waktu aku masih kecil dulu, mama itu overprotective terhadapku, sangat sayang padaku dan bahkan mungkin saja mengalahkan rasa sayang mama ke Papa. Karena sepengetahuanku selama ini mama justru lebih akrab terhadapku daripada dengan Papa. Seharusnya aku senang punya mama yang begitu care terhadapku, karena yang aku dengar dari teman-teman, banyak dari mereka yang tidak seberuntung aku. Mereka tidak pernah disayang oleh orang tua mereka.

Tapi bukannya anakmu ini tidak tahu bersyukur, hanya saja aku merasa Mama jadi membelenggu aku, sesak Ma. Mama nggak pernah memberikan kebebasan buat aku untuk melakukan apa saja yang aku suka, Mama takut aku kenapa-napa karena berpikir aku belum bisa bertindak dewasa.

Kalau waktu itu Mama melarangku untuk tidak pacaran aku masih maklum ma, karena waktu itu aku juga masih 13 tahun, aku belum terpikir ke arah itu. Tapi waktu mama melarang aku memilih esktrakurikuler, melarang aku akrab dengan perempuan, nggak boleh jalan-jalan selain ke sekolah kecuali dengan pengawasan dari Mama sendiri, kalau mau jalan mesti dinasehati dulu panjang lebar, dan masih banyak lagi tindakan-tindakan konyol yang mama lakukan dan semuanya membuat aku MUAK. Dimana ada aku, selalu saja ada Mama. Aku jadi kikuk dibuat Mama.

Aku juga pernah protes dengan ulah Mama, tapi mama nggak pernah mau terima. Mama bilang itu semua demi aku, karena Mama sayang sama aku. Dan kalau aku ngotot Mama malah nangis, aku kan jadi serba salah Mam.

Hingga akhirnya perlakuan mama berlanjut hingga usiaku 18 tahun, usia yang tidak bisa dianggap remeh lagi, aku sudah remaja. Mungkin sikap mama yang over itu nggak bakalan hilang kalau bukan karena Mbak Ratih yang tiba-tiba saja datang ke rumah kita sebagai pembantu. Meski aku lebih senang menyebutnya IPRIT. Sebab Mbak Ratihlah yang merusak hubunganku sama mama, juga hubungan mama dengan papa.

Mbak Ratih datang sebagai pembantu di rumah kita, itu yang Mama bilang ke aku, meski kenyataan yang aku lihat justru berkata lain. Aku sendiri heran, bukankah di rumah kita sudah ada Mbok Ani sama Mbok Rina? Aku rasa mereka berdua saja sudah cukup membantu pekerjaan di rumah kita, kenapa mesti nambah satu lagi? Apalagi Mbak Ratih masih muda, beda usia kami juga nggak bertaut jauh, cuma selisih dua tahun saja. Apa itu nggak menghawatirkan mama? Firasatku bilang Mbak Ratih itu biang segala-galanya. Dia itu racun di rumah kita, tapi anehnya mama nggak pernah segan-segan meminum racun itu di depan aku.

Sebenarnya aku sama sekali nggak pernah mempermasalahkan keputusan mama yang terkesan tiba-tiba itu. Tapi aku sama sekali nggak terima dengan kekurangajaran Mbak Ratih yang semakin menjadi-jadi.

Jika Mbak Ratih hanya dibebankan untuk membersihkan rumah tanpa harus membantu pekerjaan Mbok Ani dan Mbok Rina sih aku nggak masalah, juga diberikannya perhatian khusus dengan menempatkan Mbak Ratih di kamar yang lebih luas dan bagus dari pada dua pembantu kita yang sudah bekerja puluhan tahun di rumah. Karena aku memang nggak pernah mau peduli tentang dia.

Mama, aku nggak terima kalau Mbak Ratih jadi sok berkuasa di rumah. Mungkin mama memang nggak pernah tahu dengan sikap sok-nya selama ini, karena Mbak Ratih memang pandai ngibuli seisi rumah, yaitu mama dan papa. Mama tahu nggak kalau anakmu ini pernah disuruh belanja di pasar, beli bahan dapur. Tapi dia enak-enakan nonton tipi, waktu itu jelas aku nolak mam. Tapi dianya malah mengancam aku, emang sih aku pernah kepergok jalan sama cewek, waktu itu kebetulan Mbak Ratih lihat. Padahal dia cuma teman aku aja kok Mam, bukan pacar. Tapi Mama pasti nggak percaya kalau Mbak Ratih mengadu, Mbak Ratih kan paling suka ngompor-ngompori Mama tentang sikapku. Sejak itu aku dijadikan babu, aku nggak tahan Mam.

Ma... Pa... kalian seperti bukan orang tuaku lagi...

Sikap Mama dan Papa ke aku sudah berubah sejak kedatangan Mbak Ratih. Mama sudah nggak pernah manjain aku lagi, nggak pernah ajak aku jalan-jalan lagi, kan sekarang ada Mbak Ratih yang siap melayani mama 24 jam kemana pun Mama pergi. Aku rindu sama nasihat-nasihat Mama, sikap Mama yang dulunya selalu overprotective terhadap aku, juga kebiasaan mama yang dulunya sering kelonin aku tiap malam. Sekarang sudah nggak lagi, sebaliknya aku jadi sering dimarah sama mama. Apalagi waktu aku bilang mama sudah nggak sayang lagi sama aku, mama malah jewer kuping aku dan bilang kalau aku nggak tahu terima kasih. Bukannya sebaliknya Mam? Yang nggak tahu terima kasih itu Mbak Ratih. Dia nggak sadar kalau dia itu cuma seorang pembantu di rumah kita. Tapi kenapa dia berani marah-marah ke aku setiap kali aku buat salah? Aku nggak terima, yang berhak marah di rumah kita hanya Mama dan Papa aja. Mbak Ratih nggak boleh.

Sejak Mbak Ratih ada, aku jadi penjaga rumah. Mama nggak pernah mau lagi ajak aku belanja. Aku jadi anjing penjaga rumah, nggak boleh kemana-mana selain bertugas menjaga rumah kita. Padahal rumah kita kan besar mam, kenapa mesti kawatir hilang?

Ma, sekarang aku juga sudah berubah. Tapi jangan salahkan aku atas tindakanku ini Ma, salahkan Mbak Ratih. Dia yang menjadi penyebab atas perubahanku. Jika selama ini aku sudah jarang di rumah, aku mulai berani merokok dan pacaran, juga sedikit-dikit mencoba menum-minuman keras, itu karena aku tidak pernah betah tinggal di rumah. SUMPEK MAM.

Maaf jika aku justru memilih hal-hal yang bersifat negatif. Aku butuh hiburan dan segala hal yang bisa membuat aku senang. Aku sudah malas untuk belajar, habisnya sebagus apapun prestasi aku, mama sudah nggak pernah peduli lagi, paling tanggapan mama hanya senyum sambil bilang, ”Anak mama memang pintar, pertahankan ya! Kalau bisa, semester depan lebih bagus lagi.”

Mam, kalau hanya itu aku nggak puas. Aku butuh lebih, sesuatu yang dulu pernah membuat aku MUAK, yaitu perhatian mama. Ah, mungkin itu hanya mimpiku saja, kan sekarang perhatian mama sudah pindah ke Mbak Ratih ya Ma?

Kenapa sih, Mama mau aku ingin merealisasikan semua kemauan mama, jadi anak baik, pintar dan penurut. Tapi bagaimana aku bisa kalau mama sendiri semaunya saja. Nggak pernah mau dengar keluh kesah aku. Aku didoktrin untuk menjadi yang terbaik tanpa harus ada keluhan.

Lagi, masalah lain muncul, juga karena Mbak Ratih. Papa merasa senasib denganku. Perhatian mama sudah tak ada lagi buat kami, semuanya buat Mbak Ratih. Entah bius apa yang Mbak Ratih suntikkan ke Mama sampai-sampai keluarga sendiri jadi terasing. Meski di balik semua itu aku jadi bersyukur, Papa semakin dekat sama aku. Jadi mama jangan iri kalau kami berdua jadi sering jalan bareng, becanda bareng, dan sudah tak pernah lagi menghiraukan tingkah Mama dan Mbak Ratih. Sialnya, Mbak Ratih selalu saja menjadi penganggu di rumah kita. Kenapa sih mama nggak pernah sadar kalau Mbak Ratih itu nggak pernah suka sama aku?

Mama, Papa...

Aku mengaku salah karena selama ini bertindak nekat dengan berani-berani merokok atau minum-minuman keras. Bukannya itu karena selama ini aku ditelantarkan? Tapi SUMPAH, aku sudah berhenti sejak Papa dekat sama aku. Karena aku takut Papa curiga, bau mulut yang keluar dari mulut perokok dan pemunim itu ketahuan kan? Makanya aku mulai berhenti melanjutkan kebiasaanku yang belum sempat berakar itu, karena bagiku sekarang sudah ada Papa yang bisa menemani aku. Aku heran kenapa Mbak Ratih selalu saja tahu tentang kelemahanku. Sudah terlambat kalau dia mengadu dan bilang aku ini perokok dan peminum, itu dulu. Tapi kenapa kalian lebih percaya padanya? Sejak saat itu, hubunganku dengan Papa sudah tidak seakrab dulu lagi, Papa tak lagi percaya pada omonganku. Dan aku benar-benar terasing, sendiri.

Meski jarang terdengar suara pertengkaran antara kalian, tapi aku sadar kalian sudah berubah haluan. Kalian memilih jalan masing-masing, Mama yang sibuk memanjakan Mbak Ratih, dan Papa yang lebih memilih jarang pulang, entah kemana aku juga tak tahu. Padahal aku sempat bangga pada Papa yang dulunya sangat lembut tapi tegas, meski tidak terhadap Mama tapi kepada aku. Sekarang Papa putus asa, karena yang berkuasa di rumah adalah Mama, dan asisten mama adalah Mbak Ratih.

Ma, Pa...

Sejak ada Mbak Ratih kalian jadi beda. Kalian berubah. Boleh kan kalau aku juga ingin berubah? Kembali seperti anak brandal. Toh, bagiku sama saja. Nakal atau pun tidak, aku pasti dimarah juga, bagus sekalian nakal aja kan? Jadi aku bisa senang, setidaknya frekuansi pertengkaran kita semakin meningkat. Itu perkembangan, dengan marah sama aku berarti mama masih sayang, atau mungkin sebenarnya mama nggak sayang? Mama malu punya anak seperti aku? Nggak bisa dibanggakan, begitu? Makanya mama marah-marah? Tapi, lagi-lagi Mbak Ratih membius mama.

Ma, mama sendiri tahu kan kalau aku begitu benci sama Mbak Ratih. Mama sendiri sering lihat kan aku marah-marah sama Mbak Ratih, aku cuek kalau Mbak Ratih ngomong atau ngajak aku becanda kalau ada mama. Aku nggak pernah ngobrol sama Mbak Ratih, aku juga nggak pernah mau diajak ke tempat keluarga kalau Mbak Ratih juga ikut. Itu karena aku begitu benci sama Mbak Ratih.

TAPI KENAPA AKU HARUS DIJODOHKAN SAMA MBAK RATIH?

Dia itu monster Ma? Bagaimana mungkin aku bisa bertahan hidup sama monster? Sedangkan Mama sendiri tahu, aku nggak pernah akur sama Mbak Ratih, jadi bagaimana mungkin Mama terbayang kalau aku bisa hidup rukun dengan orang yang sudah menghancurkan hidup aku?

Dan Papa...

Kenapa sih Papa nggak pernah mau membelaku? Padahal hanya Papa harapanku, aku butuh pembela. Tapi Papa nggak pernah ada di belakangku. Aku sudah nggak kenal sama Papa lagi, Papa yang dulu sudah nggak ada. Sekarang yang ada hanya buruh pencari nafkah. Maaf Pa. Omonganku mungkin kasar. Tapi itulah kenyataanya, Papa jadi tekun bekerja di kantor, jarang pulang ke rumah. Kalaupun pulang, paling tiga kali seminggu, itupun hanya untuk numpang tidur. Papa nggak pernah lagi mau menatap aku, bicara sama aku. Papa juga nggak komentar apa-apa waktu aku mengeluh dengan usulan Mama menjodohkan aku sama Mbak Ratih. Papa cuma memasang tampang datar, tanpa ekspresi sama sekali. Jadinya aku nggak bisa menafsirkan apa yang Papa pikirkan. Aku kan bukan dukun, Pa.

Ma, Pa...

Maaf jika sekarang aku memutuskan untuk minggat dari rumah. Itu karena aku sudah tidak betah lagi tinggal bersama Mama dan Papa, terlebih dengan Mbak Ratih. Bagiku berlama-lama di rumah sama saja berlama-lama di neraka. Siapa yang tahan? Toh aku sudah tidak dibutuhkan lagi kan? Ada atau tidaknya aku tidak berpengaruh terhadap kalian, meski pernikahan antara aku dan Mbak Ratih terancam batal. Tapi mama nggak usah kawatir, aku yakin Mbak Ratih masih punya segudang cara agar ia bisa menguasai rumah, karena aku tahu, bujukan Mbak Ratih yang meminta Mama menikahkan dia denganku itu hanya alasan saja, supaya dia bisa lebih dekat dengan Mama, dan menguasai rumah kita. Aku sudah nggak peduli lagi. Biar saja Mbak Ratih bertindak semaunya, karena memang itu yang Mama mau kan? Yang penting sekarang, aku sudah tidak diikuti oleh bayang-bayang Mbak Ratih lagi. Aku merasa bebas. Aku bisa berbuat semau aku tanpa ada yang membelenggu, yaitu Mama dan Mbak Ratih.

Ma, Pa...

Maaf kan anakmu ini jika ada salah dan khilaf. Maaf kalau selama ini selalu marah-marah, maaf kalau selama ini nggak pernah nurut perintah kalian. Salahkan Mbak Ratih, karena dia faktor utamanya. Kepergianku ini semoga menjadikan refleksi diri untuk kalian. Aku nggak minta apa-apa, hanya perhatian. Jika di rumah sudah tak ada lagi, anakmu ini ingin menjelajah, mencari perhatian dari orang lain.

Dari anakmu yang terasing,

Wajah pemuda itu terlihat sayu, usianya sekitar dua puluh tahun. Bibirnya pucat, dan tampak jelas goresan luka di pipi sebelah kirinya. Ia terkulai lemas tak berdaya, darah terus saja mengalir dari kepala dan kakinya. Ia dibopong ke mesjid, lokasi terdekat dari TKP. Orang-orang merasa iba padanya, seorang Ustath membantunya melantunkan ayat Allah, memuji kebesarannya. Pelan-pelan akhirnya mata itu terpejam rapat, dan orang-rang yang menyaksikan hanya bisa bergumam pelan, ”INNALILAH”.

Dan tiba-tiba saja, kota itu kembali diguyur hujan deras. Sabtu malam di bulan desember.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar