Menurut kamu tentang cerpen Nue

Rabu, 02 Desember 2009

Where's Fino??

“Lu mau nggak jadi pacar gue?”

“Jangan bercanda, lu kira gue percaya?”

“Serius kok. Napa tafsirannya gue lagi bercanda sih? Gue tahu, lu pasti ge-er ya?”

“Nggak”

“Trus?”

“Au ah… Gelap”

***

Gue masih ingat dengan dialog singkat tapi berkesan yang diucapkan Vino tadi pagi. Jujur, gue seneng banget dengan pertanyaan yang diajukannya. Pertanyaan yang selama setahun ini gue tunggu-tunggu, meskipun suasananya nggak seromantis seperti apa yang sering gue lihat di tipi-tipi, but it’s oke-lah. Hingga malam ini, gue belum juga bisa menjawab soal yang hanya perlu jawaban “Ya” atau “Tidak” itu. Bukannya nggak mau, bukannya gengsi, tapi tiba-tiba aja gue jadi berpikir jauh. Masa’ sih gue pacaran sama Vino? Doi cakep (sedangkan tampang gue cuma nyampe level 2), doi anak gedongan (sedangkan gue Cuma anak rumahan), tongkrongannya… Mmhhh Oke punya (sedangkan teman-teman gue biasa-biasa ja, nggak da yang perlu dibanggain), sialnya lagi doi kuliah di Jakarta, tempat yang begitu jauh banget, sedangkan gue lagi di Kalimantan Timur. Kedatangan Vino yang hanya ingin bersilaturahmi dengan orang tuanya disini itu hanya dalam rangka menyambut hari lebaran. Itu artinya, setelah ini doi bakalan Out dari Kalimantan, pergi ninggalin gue yang baru saja berbunga-bunga karena sedang falling in love.

Gimana, mau nggak? Mau ya? Nggak pa-pa kok pacaran jarak jauh. Lu percaya aja sama gue!

Pesan singkat yang doi kirim barusan kembali memaksa gue untuk berpikir keras mengenai jawaban dari satu kata ”Ya” atau ”Tidak”? Meskipun kami sudah saling mengenal selama setahun, tapi kalau ketemunya baru dua kali (Awal kenalan dan tadi pagi), gimana bisa puas? Bagi gue, penderitaan selama ini udah cukup ngebuat gue sakit. Berbicara lewat telepon saja nggak cukup, Vino yang punya watak super cuek nggak pernah mau kasih kabar sebelum gue yang mulai. Wrong place” gue salah menempatkan pria di hati gue. Kenapa harus Vino? Kenapa mesti suka sama orang yang nun jauh di sana?

***

Nue, gue udah di pesawat neh. Bentar lagi berangkat. Doa’in gue paya selamat ya! Ntar kalo gue dah nyampe gue kabari deh! Sii yu…

SMS doi sebelum berangkat. Kata-kata yang lafalnya sama sekali nggak punya beban. Padahal gue sedang berduka, gue sedih karena harus rela ditinggalkan. Padahal baru kemarin gue menikmati hidup, baru kemarin gue tahu apa itu cinta, baru kemarin gue menatap wajahnya. Tapi hari ini gue harus menerima kenyataan, gue dipaksa bangun dari mimpi indah.

”Buka mata lu, Inue. Cowok nggak hanya dia aja di bumi ini. Mikir dong, dia Jakarta sedangkan lu di Kalimantan, jarak kalian itu bermil-mil. Lu nggak tahu kapan ketemu lagi, lu juga nggak tahu apa yang dia buat disana. Lu bego’ kalo’ percaya begitu aja sama dia.”

Bunga menyadarkan gue akan satu hal. Dunia nggak selebar daun kelor, dunia itu luas. Gue bisa cari cowo’ yang bisa selalu ada di dekat gue, yang bisa menjaga gue, yang selalu ada jika gue butuhkan, yang bisa gue tatap wajahnya kapan pun gue mau. Nggak harus Vino, doi terlalu jauh hingga sangat sulit untuk gue jangkau. Pantaskah gue buat dia?

”Ingat, jangan sekali-kali lu hubungi dia duluan. Cukup deh selama ini lu putus urat malu lu, cukup selama ini lu pasang muka tembok lu, bela-belain cuma pengen tanya kabar doang. Dimana lu taruh muka lu?”

Ella menyadarkan gue betapa selama ini herga diri gue udah nggak ada lagi di mata dia. Gue terlalu aktif, gue terobsesi untuk mendapatkan cintanya. Jadinya seperti ini... sengsara sendiri!

***

Dua minggu berlalu sejak kepergian Vino, tapi sejak itu pula gue nggak pernah dapat kabar lagi dari dia. Gue nggak bisa lupa dengan kata-katanya ”Ntar kalo’ uda nyampe gue kabari deh!”

Apa maksud dari kata-kata Vino? Kenapa dia berkata seperti itu tapi tak bisa menepati janjinya? Apa itu hanya obat penenang agar gue bisa lega? Nggak bakalan lega kalau khasiatnya hanya berlaku sehari saja. Saran Bunga dan Ella agar jangan sampai gue hubungi Vino sebelum dia yang hubungi gue duluan. Meskipun rasanya sulit, tapi akan gue coba. Target gue sebulan, kalau memang doi nggak ada kabar terpaksa gue yang hubungi lebih dulu. Karena dengan tidak menghubunginya akan memperburuk keadaan gue, gue jadi sering mikir yang macam-macam. Jangan-jangan doi kenapa-napa, atau jangan-jangan doi udah dapat cewek baru disana?

***

Tiga hari menjelang sebulan...

Gue bermaksud jalan-jalan ke tempat julak Iva, adik dari papa. Kebetulan rumahnya melewati rumah orang tua Vino, jadi gue pikir sekalian mampir. Gue sempat kaget, kenapa di rumahnya reme banget? Sepertinya mau berangkat, herannya kenapa sampai sesedih itu? Tangis pilu yang keluar dari mata mata mama Vino membuat gue trenyuh, memaksa gue untuk bertanya, ”Ada apa?”

”Nak, selama ini Vino masuk rumah sakit, koma. Tabrakan saat menuju rumah di Jakarta. Ibu pengen kasih kabar ke kamu. Tapi ibu nggak tahu alamat rumah kamu, nomor hape kamu.” ucap mama Vino hati-hati, eku senang ternyata ia masih mengenaliku.

”Ibu mau kemana? Kenapa menangis?”

”Nak Inue ikut ya? Untuk melihat Vino yang terakhir kalinya. Dia sudah nggak ada lagi”

Diam. Sunyi. Gue shock berat. Nggak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang ingin gue lakukan sekarang adalah istirahat, dan doa itu terkabut. Gue nggak sadarkan diri.

***

Kenapa dunia begitu kejam sama gue? Kenapa nggak ada yang setuju dengan apa yang gue perbuat? Kenapa saat gue berpikir untuk tidak bertanya kabar justru pada saat itu kabar Vino sedang gawat? Maafkan gue Vin… gue bego’ gue egois!

+++ The End +++

Tidak ada komentar:

Posting Komentar